Rabu, 21 Juli 2010

Asal Mula Sukoharjo

Asal mula kota Sukoharjo konon tidak dapat dipisahkan dari sejarah perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono II sesudah peristiwa geger pecinan.

Sri Susuhunan Paku Buwono II atas nasehat para sesepuh Keraton dianjurkan untuk segera memindahkan lokasi Keraton karena Keraton dianggap sudah tercemar oleh darahnya kaum pemberontak. Pada masa atau saat – saat pencarian daerah baru yang hendak dijadikan Keraton itulah berkembang asal – usul nama Sukoharjo.

Dikisahkan, Sri Susuhunan Paku Buwono II yang berusaha memenuhi nasehat para sesepuh Keraton segera mengadakan pembicaraan dengan Kiai Yosodipuro, Kiai Tohjoyo dan Pangeran Wijil. Inti pembicaraan adalah mencari jalan keluar agar kehendak para sesepuh Keraton segera terwujud.

“Menurut hemat hamba, tanah yang hendak kita jadikan Keraton itu, kelak hendaknya dapat mendatangkan kesejahteraan (bahasa Jawa = sokoraharjo), kanjeng Sunan.” Saran Kiai Tohjoyo.

“Hamba sependapat dengan Kiai Tohjoyo, Kanjeng Sunan, dan disamping itu tanah yang hendak kita cari hendaknya tanah yang berbau harum (bahasa Jawa = Talawangi)” sembah Kiai Yosodipuro pula.

Sri Susuhunan Paku Buwono II sangat setuju dengan saran para penasehatnya itu. Maka Baginda pun segera memberi kuasa penuh kepada Pangeran Wijil untuk mencari dan mendapatkan lokasi Keraton yang baru.

Untuk memperlancar tugasnya, Pangeran Wijil segera membentuk tim penyelidik yang akan mengemban tugas mencari lokasi yang cocok untuk Keraton yang baru. Kelompok yang pertama dipimpin oleh Suranata, Kiai Kalifah Buyut dan Mas Pengulu Pekik Ibrahim. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh Raden Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Tirtowiguno.

Demikianlah, setelah mendapatkan petunjuk seperti yang diamanatkan oleh Susuhunan Paku Buwono II, tim penyelidik itupun segera berangkat melaksanakan tugas.
Dikisahkan, perjalanan kelompok yang kedua yang dipimpin oleh Tumenggung Honggowongso akhirnya sampai di tepi Bengawan Solo.

“Bagaimana ini, Adi Tirtowiguno ?” tanya Tumenggung Honggowongso sambil memandangi Bengawan Solo yang sedang meluap airnya.

“Maksud Kakang Honggowongso apakah kita akan menyeberang atau tidak. Begitukah kakang ?”

“Benar, Adi. Sudah cukup jauh kita berjalan, mencari daerah baru, tapi tidak ada yang cocok, sementara di depan, Bengawan Solo sedang meluap,” jawab Tumenggung Honggowongso.

Kedua bangsawan andalan Paku Buwono II itupun segera berunding untuk menentukan langkah selanjutnya. Akhirnya keduanya sepakat untuk menyeberangi Bengawan Solo dan terus mencari daerah baru yang cocok untuk lokasi Keraton apapun resikonya. Kedua senopati itu dengan kesaktiannya mampu menyeberangi sungai dengan bantuan lembaran-lembaran daun yang dilemparkan di atas permukaan sungai. Sementara para pengikutnya segera menyusul dengan raki-rakit buatan.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan beberapa hari lamanya, rombongan tim menyelidiki itu bersorak girang.

“Lihat! Di depan itu kakang, mungkin tanah itu yang kita cari!” teriak Tumenggung Tirtawiguna dengan girang terus berlari mengitari daerah yang luas itu.

Tumenggung Honggowongso pun segera berlari melesat mengejar Tumenggung Tirtowiguna.
“Benar, Adi. Aku sependapat, tanah disini cocok untuk kita dirikan kerajaan baru!” sahut Tumenggung Honggowongso tak kalah gembiranya.

Keduanya pun dengan dibantu para pengikutnya segera mengadakan penyelidikan lebih lanjut daerah yang baru ditamukan itu !

“Di sini cocok untuk dibangun istana, Adi Tirtawiguna.” Berkata Tumenggung Honggowongso sambil menunjuk tanah yang diinjaknya.

“Yah, benar sekali, Kakang. Dan di depan sana cocok untuk bacira ngayun (alun – alun depan) serta dibelakang sana cocok untuk bacira pungkuran (alun-alun belakang) jawab Tumenggung Tirtawiguna pula.

Kedua senopati Keraton Kartasura itu pun terus melanjutkan tugasnya mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelengkapan berdirinya sebuah keraton. Disamping mempersiapkan tempat untuk membuat senjata (tempat pande) dan tempat untuk membuat wrangka keris (mranggen), keduanya juga memilih tempat untuk para isteri raja serta tempat untuk kandang gajah kendaraan baginda.

Demikianlah, setelah dirasa cukup dalam mengadakan penelitian dan mempersiapkan segala sesuatunya, Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Tirtawiguna beserta rombongan segera kembali ke keraton untuk melaporkan penemuan daerah baru tersebut.

Laporan tim penyelidik yang dipimpin Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Tirtawiguna segera dibahas oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II beserta para sesepuh keraton.

“Bagaimana pendapat para sesepuh semua perihal daerah di seberang Bengawan Solo yang dilaporkan kedua Tumenggung itu ?” tanya Sri Susuhunan Paku Buwono II.

“Kalau menurut kedua Tumenggung itu, daerahnya memang sudah layak didirikan keraton, kami para sesepuh keraton hanya bisa mendukung saja Kanjeng Sunan,” jawab para sesepuh keraton.

Sri Susuhunan Paku Buwono II tampak girang mendengar jawaban para sesepuh keraton itu, tetapi Baginda belum yakin kalau belum mendengar saran dari Kyai Yosodipuro.

“Bagaimana menurut pendapat Kiai, apakah Kiai Yosodipuro juga sependapat dengan para sesepuh yang lain ?” tanya Baginda.

Kiai Yosodipuro tampak berpikir sejenak, lalu jawabnya “Sebenarnya hamba sependapat dengan para sesepuh yang lain, tetapi ….”

“Tetapi apa, Kiai ….?” desak para sesepuh keraton yang lain.

Kiai Yosodipuro pun segera mengemukakan alasannya. Menurutnya, daerah yang dipilih oleh Tumenggung Honggowongso itu belum memenuhi syarat dari segi pertimbangan keamanan. Daerah yang diyakini mampu memberikan kesejahteraan itu letaknya berdekatan dengan markas Pangeran Sambernyawa di Nglaroh. Padahal saat itu hubungan antara Sunan Paku Buwono II dan Pangeran Sambernyawa sedang retak, maka dikhawatirkan keraton yang baru nanti akan sering mengalami penyerbuan dari pasukan Pangeran Sambernyawa.

Mendengar penjelasan Kiai Yosodipuro itu, para sesepuh keraton yang lain bisa mengerti, dan Sunan Paku Buwono II pun memerintahkan untuk mencari daerah yang lain.

Sementara daerah yang dipilih oleh Tumenggung Honggowongso meskipun tidak jadi didirikan keraton, namun tanah yang telah diyakini Tumenggung Honggowongso sebagai “bumi Sukoraharjo” yang artinya bumi yang akan memberikan kesejahteraan itu kemudian menjadi tonggak asal – usul nama Sukoharjo. Bahkan tempat – tempat yang dahulu pernah diteliti dengan seksama oleh Tumenggung Honggowongso, sampai sekarang masih dilestarikan namanya.
Tempat yang dahulu hendak dipergunakan sebagai tempat wantilan (kandang) gajah, saat ini menjadi Desa Begajah. Tempat yang dahulu direncanakan sebagai tempat pembuatan senjata (pandhe) kini menjadi Desa Pandean. Sedangkan tempat yang dahulu dipersiapkan untuk membuat wrangka keris (mranggen) kini sudah menjadi Desa Mranggen.

Sementara tempat yang dahulu diperuntukan bagi isteri (selir) raja, berkembang menjadi Desa Seliran. Dan areal tanah luas yang dahulu dipersiapkan untuk alun – alun belakang (bacira pungkaran) kini tempat itu berfungsi sebagai alun-alun, yaitu alun – alun Satyanegara. Sedangkan tanah yang direncanakan sebagai alun – alun depan (bacira ngayun) kini dipergunakan sebagai Kantor Kodim 9726 Sukoharjo dan Masjid Kota.

Demikianlah asal-usul Sukoharjo yang berasal dari kata “Sukoraharjo” yang berarti tanah yang dapat memberikan kesejahteraan walaupun dalam cerita sejarah maupun babad tidak pernah disebutkan, namun asal- usulnya tetap bisa dirunut dari mulut ke mulut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar